Kuliah Itu Tersier: Bagaimana Pendapat Mahasiswa dan Orang Tua?
Oleh : Meilinda Sri Wahyuni
(Sumber) |
Pernyataan petinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) yang menyebut bahwa kuliah bersifat tersier menuai polemik di masyarakat. Pernyataan tersebut terlontar dari mulut Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Tjitjik Tjahjandarie, saat merespons mahalnya uang kuliah tunggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN). Tjitjik menyampaikan, pendidikan tinggi hanya ditujukan untuk lulusan SMA, SMK, dan madrasah aliyah yang berkeinginan mendalami suatu ilmu secara lebih lanjut. Namun, ia menilai bahwa tidak semua lulusan SMA, SMK, dan madrasah aliyah harus melanjutkan studinya ke perguruan tinggi karena hal ini bersifat pilihan. “Tetapi dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan ini adalah tersiery education. Jadi bukan wajib belajar,” ujarnya.
Pendidikan tinggi, sering dianggap sebagai jalan emas menuju kesuksesan, kini menjadi topik perdebatan hangat. Dengan biaya kuliah yang terus meningkat dan tantangan ekonomi yang semakin berat, banyak yang mulai mempertanyakan apakah kuliah benar-benar merupakan kebutuhan tersier atau sudah menjadi kebutuhan primer. Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di perguruan tinggi menjadi topik yang terus memancing perhatian dan kontroversi di kalangan mahasiswa, orang tua, dan masyarakat luas. Di era di mana akses pendidikan tinggi dianggap sebagai kunci keberhasilan individu dan bangsa, kebijakan kenaikan UKT menimbulkan berbagai pertanyaan dan kekhawatiran.
Mahasiswa memandang kenaikan UKT sebagai ancaman terhadap hak mereka untuk mendapatkan pendidikan. Mereka merasa bahwa kenaikan biaya tidak selalu disertai dengan peningkatan kualitas pendidikan. Demonstrasi dan kampanye di media sosial menjadi alat mereka untuk menyuarakan ketidakpuasan dan menuntut perubahan. Mahasiswa berharap perguruan tinggi dan pemerintah dapat menemukan solusi yang tidak memberatkan mereka.
Perguruan tinggi, di sisi lain, berargumen bahwa kenaikan UKT adalah langkah yang tidak bisa dihindari untuk menjaga dan meningkatkan kualitas pendidikan. Mereka berusaha menjelaskan bahwa biaya operasional yang tinggi memerlukan penyesuaian dana dari mahasiswa. Namun, perguruan tinggi juga diharapkan lebih transparan dalam penggunaan dana dan lebih proaktif mencari sumber pendanaan alternatif.
Kenaikan UKT di perguruan tinggi merupakan masalah kompleks yang memerlukan pendekatan multifaset. Transparansi, dialog, dan inovasi dalam mencari solusi pendanaan adalah kunci untuk mengatasi tantangan ini. Semua pihak perguruan tinggi, pemerintah, mahasiswa, dan masyarakat harus bekerja sama untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi tetap dapat diakses oleh semua kalangan tanpa mengorbankan kualitasnya. Di era digital ini, solusi kreatif dan kolaboratif adalah langkah maju yang diperlukan untuk menghadapi tantangan pendidikan tinggi yang semakin kompleks.
Bagi banyak mahasiswa, kuliah bukan hanya tentang mendapatkan gelar, tetapi juga tentang membangun masa depan yang cerah. Namun, realitas di lapangan sering kali tidak seindah harapan.
Banyak mahasiswa melihat kuliah sebagai investasi jangka panjang. "Saya berharap gelar saya dapat membuka lebih banyak peluang karir," kata Dita, seorang mahasiswa ekonomi. Mereka yakin bahwa pendidikan tinggi memberikan mereka keunggulan kompetitif di pasar kerja yang semakin ketat.
Di sisi lain, beban finansial menjadi momok yang menghantui. "Biaya kuliah yang tinggi membuat saya harus bekerja paruh waktu," ujar Rian, mahasiswa teknik. Banyak mahasiswa yang harus membagi waktu antara studi dan kerja untuk menutupi biaya kuliah dan biaya hidup, yang sering kali mengganggu fokus akademis mereka.
Isu kualitas pendidikan juga sering muncul. "Kualitas dosen dan fasilitas di kampus saya tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan," keluh Maya, mahasiswa sastra. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah biaya yang tinggi benar-benar sepadan dengan kualitas pendidikan yang diterima.
Orang tua memiliki pandangan yang kompleks tentang pendidikan tinggi, sering kali dipengaruhi oleh pengalaman pribadi dan harapan untuk anak-anak mereka. Banyak orang tua rela berkorban demi pendidikan anak-anak mereka. "Kami menabung selama bertahun-tahun untuk biaya kuliah anak kami," kata Pak Budi, seorang ayah dari dua anak. Pengorbanan finansial ini sering kali berdampak pada gaya hidup dan perencanaan keuangan keluarga.
Orang tua sering melihat pendidikan tinggi sebagai kunci untuk kehidupan yang lebih baik. "Saya ingin anak saya memiliki kehidupan yang lebih baik dari kami," ujar Bu Siti, ibu dari seorang mahasiswa kedokteran. Mereka berharap investasi dalam pendidikan anak-anak mereka akan membuahkan hasil dalam bentuk stabilitas ekonomi dan kesuksesan profesional.
Namun, kekhawatiran tentang utang pendidikan juga menghantui. "Saya khawatir anak saya akan terbebani dengan utang setelah lulus," kata Pak Ahmad, seorang pekerja pabrik. Banyak orang tua yang merasa tertekan oleh kemungkinan anak mereka harus membayar utang dalam jangka waktu yang lama.
Debat tentang apakah kuliah merupakan kebutuhan tersier atau primer mencerminkan kompleksitas situasi pendidikan tinggi saat ini. Di satu sisi, pendidikan tinggi tetap dianggap sebagai investasi penting untuk masa depan yang lebih baik. Di sisi lain, tantangan finansial dan kualitas pendidikan yang bervariasi menimbulkan keraguan dan kekhawatiran.
Untuk mencapai keseimbangan, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat. Subsidi pendidikan, peningkatan kualitas pendidikan, dan penyediaan beasiswa dapat menjadi solusi untuk meringankan beban finansial dan memastikan akses pendidikan yang lebih merata.
Pada akhirnya, pendidikan tinggi seharusnya menjadi alat untuk memberdayakan individu dan menciptakan masyarakat yang lebih berpengetahuan dan kompetitif, bukan sekadar beban finansial yang berat. Dialog yang berkelanjutan antara mahasiswa, orang tua, dan pembuat kebijakan sangat penting untuk menemukan jalan terbaik menuju masa depan pendidikan yang inklusif dan berkualitas.
(END/MEILINDA)
Komentar
Posting Komentar